JANUARY 16, 2018
“Kopi itu ibarat tatanan sosial, jangan diaduk nanti rusak”
“Kopi yang paling sempurna pun punya rasa pahit”
“Kopi adalah ….. “
Kenapa banyak orang yang berfilosofi dengan kopi? Kenapa padi yang makanan pokok cuma satu filosofinya dari dulu: “Makin berisi makin merunduk”. Sepelit itukah manusia-manusia Indonesia dalam mengambil hikmah dari padi.
Ah sudahlah.
Sebenarnya di sore menjelang maghrib ini, saya lagi nganggur sendirian di salah satu warung kopi di Bandung. Jadilah saya mau nulis saja tentang kopi, bukan (ilmu) filosofinya, tapi (ilmu) bisnisnya.
Bukan Ngenyek Filosofi Kopi-nya Dee Lestari, tapi memang lagi mau bicarain Bisnis bukan Filosofi
Ceritanya mulai oktober tahun lalu saya tertarik untuk buka warung kopi. Kenapa? Karena kelihatannya seru, karena keren kalau punya coffee shop dan karena kayaknya menguntungkan. Jadilah saya belajar dan tanya sana-sini ke orang-orang yang sudah pernah buka warung kopi.
Hasilnya? Sampai sekarang belum mulai-mulai. Wkwk.. Tapi bukan karena makin banyak belajar jadi ragu mulai bisnis, tapi memang belum fokus dan timing-nya aja belum tepat.
Ini penting saya mention karena banyak yang bilang bisnis itu terjun aja, belajar sambil jalan. Mungkin diawal-awal bener ya, saya juga awal-awal begitu. Cuma makin ke sini, rasanya banyak salahnya. Bisnis itu ya harus belajar. Mau terjun ke industri apa ya lihat potensinya. Mau ambil keputusan apa, analisis resikonya.
Tapi kenapa ada orang yang bisa ambil keputusan atau mulai bisnis dengan feeling saja dan hasilnya bagus? Yakinlah orang-orang itu sudah punya banyak pengalaman, jadi knowledge-nya yang sekian lama telah terkumpul itu secara spontan memberi kesimpulan atas pertanyaannya.
Balik ke kopi lagi.
Secara bisnis coffee shop moderen memang lagi menjamur. Di kota-kota besar seperti Bandung, Jogja dan Jakarta, hampir setiap sudut jalan rasanya ada coffee shop. Bahkan di daerah rumah saya di Jakarta yang pinggiran (baca: kampung) banyak juga bermunculan coffee shop tanpa diundang.
Fenomena ini sebenarnya agak terlambat. Karena minum kopi sebenarnya sudah jadi budaya yang lama ada di Indonesia, secara indonesia itu salah satu penghasil biji kopi terbaik di dunia. Dulu waktu saya masih kecil, di rumah saya atau rumah nenek, pasti selalu tersedia bubuk kopi (sebelum marak kopi saset-an), karena pada waktu itu pilihan umum yang disajikan untuk tamu itu ya pasti kalau engga teh tubruk ya kopi tubruk.
Bahkan dulu orang-orang eropa yang datang ke Indonesia pada masa kolonialisme menyebut kopi seduhan itu dengan kata java (jawa), karena sangking terkenalnya biji kopi dari jawa. Malah -dalam konteks yang berbeda- kalau diperhatikan logo bahasa pemrograman Java itu kan kopi seduh. Jadi java (bagian dari Indonesia) itu sudah sangat berasosiasi dengan kopi.
Lalu kenapa baru 5-6 tahun ini coffee shop marak?
Jawaban saya mungkin karena Starbucks. Starbucks dan kedai kopi impor lainnya mau engga mau membawa perubahan yang besar terhadap gaya hidup kaum urban di Indonesia. Membuat ngopi itu jadi lebih keren. Membuat ngopi itu bukan jadi sekedar minum, tapi pergaulan.
Dan kabar baiknya tentunya membuat bisnis coffee shop lokal juga tumbuh.
Lalu karena kini ngopi bukan hanya tentang minum kopi, maka pebisnis coffee shop harus beradaptasi dan mengakomodir hal tersebut. Beberapa hal penting yang saya catat yang bisa saya share:
1. Edukasi tentang kopi
Karena lifestyle adalah hal yang dibangun oleh industri coffee shop moderen, maka menjadi penting mengedukasi tentang kopi itu kepada konsumen. Apa bedanya cappucinno dengan macchiato, apa itu blended, apa itu cold brew, biji kopi yang bagus dari mana. Itu menjadi penting, karena saya juga engga tahu wkwk.. Ralat! Itu menjadi penting karena bagi konsumen dengan tahu itu mereka jadi lebih keren.
Bahkan beberapa coffee shop juga membuat workshop berbayar untuk mengedukasi konsumennya. Dan itu laku.
2. Tempat yang Cozy
Jadikan coffee shop kamu tempat yang asik buat kongkow dan kumpul bareng. Bagus lagi kalau tempatnya instagramable maka bisa jadi promosi gratis.
Kadang beberapa coffee shop memang sengaja membuat tempatnya tidak terlalu ergonomis, dengan meja terlalu rendah, kursi yang engga nyaman. Itu mereka lakukan karena mau kejar kapasitas okupansi. Kalau tempatnya nyaman makin betah pengunjung di situ, jika makin betah maka konsumen lainnya tidak dapat tempat. Menurut saya langkah ini kurang tepat, ada cara-cara lain untuk memonetisasi pelanggan.
Tempat yang ergonomis bukan hanya untuk konsumen, tapi area kerja barista juga harus ergonomis. Letak storage, letak grinder, letak cup harus diatur untuk memudahkan kerja barista. Saya pernah ke cafe (cafe berasal dari bahasa prancis yang sebenernya artinya juga coffee) yang baristanya ribet sendiri dan jadinya lambat. Itu bikin males datang lagi.
3. Kualitas
Bagaimana pun kualitas tetap nomor satu. Pelanggan sangat menghargai kualitas. Biarkan mereka memilih biji kopinya sendiri (yang mana itu jadi experience juga buat pelanggan), gunakan mesin espresso yang berkualitas (maka itu juga jadi kepuasan bagi pelanggan).
4. Buat Signature / Bangun Branding
Karena makin semarak coffee shop, maka penting untuk membuat signature kita sendiri. Sehingga kekhasan rasa yang coffee shop kita miliki tidak bisa didapatkan ditempat lain.
Selain itu cara menang dari persaingan, bisa juga dengan membangun branding. Kalau sudah bisa membangun branding maka yang kita jual bukan lagi kopi, tapi style.
5. Konsumen Takeaways
Oke tempat yang nyaman dan wifi itu wajib. Namun konsumen yang diam berjam-jam dan hanya memesan 1 canggir kopi tidak bisa membantu kamu untuk bahkan membayar sewa tempat. Harga yang dibayar oleh konsumen takeaways itu sama dengan konsumen sit-in tanpa kita memberikan fasilitas lain. Maka cobalah seimbangkan juga menggarap konsumen takeaways, main di go-food dan online order lainnya.
Sumber :
https://panji.prabowo.id/bukan-filosofi-kopi-tapi-bisnis-kopi/