Apakah Kopi Kalosi Itu Kopi Toraja?
Kopi yang berasal dari kawasan Sulawesi Selatan identik dengan nama Toraja. Tak bisa dilepaskannya kopi Sulawesi dengan nama Toraja, sampai-sampai kopi yang didapatkan dari para penjual kopi di Kelurahan Kalosi, Kabupaten Enrekang, di berbagai kafe dan oleh roaster Jakarta, dan juga beberapa kota besar lainnya, menjual kopi tersebut secara tidak tepat dengan menamainya Toraja-Kalosi. Pada kenyataannya Kalosi merupakan daerah di Kabupaten Enrekang, bukan di Kabupaten Toraja dan Toraja Utara. Ketidaktepatan para roaster, dan juga trader, yang menjual kopi dari Sulawesi Selatan yang bukan dari Kabupaten Toraja dan Toraja Utara, membuat daerah penghasil kopi dari kawasan non-Toraja, seperti seperti Bone-Bone, Benteng Alla, Masalle, dll., tidak begitu dikenal di Jakarta, dan barangkali juga di tempat lain.
Toraja-Kalosi bisa juga diartikan penggabungan dua daerah penghasil. Tapi, akan menjadi galat ketika ia dijual atau dikenalkan sebagai kopi single origin. Single origin itu sendiri mengalami pemgembangan dan penyempitan makna. Mulai dari batasan minimum, yaitu kawasan, sampai kopi yang berasal hanya dari satu petani atau kebun dan disangrai dengan profil sangrai tertentu dan disajikan dengan metode tersendiri. Apa pun itu, single origin sekurang-kurangnya adalah kopi yang berasal dari satu daerah, bukan gabungan dua daerah. Dengan begitu, kopi Toraja-Kalosi keliru jika dianggap sebagai single origin jika pengertiannya sebagai gabungan dua daerah penghasil kopi.
Nama Kalosi sendiri, sejak kapan ia digunakan sebagai nomina sebuah kopi yang merepresentasikan daerah sekaligus cita rasa, masihlah kabur. Secara historis, penamaan suatu kopi dengan identitas tempat bisa bermakna macam-macam. Dua makna yang paling sering dipakai adalah nama tempat dan pelabuhan. Seperti nama Java atau Jawa dan Mukha, pada abad 19, itu tidak berarti kopi tersebut ditanam di daerah Pulau Jawa dan Mukha, melainkan juga bisa berarti kopi yang diberangkatkan dari suatu pelabuhan di Pulau Jawa atau di Mukha. Kalosi sendiri bisa berarti pasar dan tempat. Meski di Kalosi ada tanaman kopi, pada saat yang sama mempertimbangkan sebaran kopi spesial Kalosi (sekali lagi, kopi spesial [specialty coffee] bukan kopi secara umum) di berbagai daerah di luar Kalosi yang melampaui daya produksi tanaman kopi di Kalosi, kopi Kalosi bisa berarti kopi yang dibeli atau dijual oleh penjual kopi asalan di pasar Kalosi yang kopinya bisa berasal dari luar Kalosi.
Salah satu hal yang turut menambah blunder soal penamaan kopi sebagai representasi identitas daerah penghasil adalah persoalan merk dagang. Di wilayah yang menjual kopi secara curah, tanpa merk, kadang masyarakat tempatan memberi sebutan “merk” secara arbitrer dengan mengacu pada tempat ia dijual, bukan dihasilkan, mengingat pasar sebagai tempat penjual kopi itu mendapatkan kopi dari berbagai kecamatan.
Gagasan indikasi geografis yang mencuat sebagai tuntutan sejak satu atau dua dekade lalu ikut menambah kegaduhan. Hal itu karena banyak penjual kopi yang menggunakan nama tempat sebagai merk dagang. Itulah yang terjadi pada persoalan persengketaan indikasi geografis yang menimpa beberapa perusahaan kopi di dunia.
Hal-hal semacam itu yang membuat sulit untuk melacak sejarah penggunaan nama Kalosi pada kopi sedari awal. Jika Kalosi dulunya merupakan nama pasar, yang menjadi pertanyaan, dari daerah mana saja kopi yang dijual di daerah tersebut? Lalu, apakah pada masa-masa awalnya kopi yang berasal dari Toraja yang dijual di Kalosi tetap dijual dengan nama Kalosi atau nama Toraja? Jika tetap dijual dengan nama Kalosi, lantas sejak kapan atribut Toraja disematkan pada kopi yang berasal dari Toraja?
Menurut Jabir Amien, Direktur Administrasi PT Toarco Jaya, ketika kami temui di Padamaran mengatakan bahwa nama Kalosi merupakan nama klasik atau tradisional para pedagang kopi pada abad 20 awal di Sulawesi. “Orang-orang dulu itu enggak ada yang buat nama. Mereka pakai [nama] tradisional, sewaktu mengirim [kopi] dari kalosi, nama itu juga yang mereka pakai….Kalosi sebenarnya nama pasar, meski ada penanaman kopi di sana,” tutur Amien.
Soal pasar, di Sulawesi Selatan masih banyak pasar tradisional yang menjadi tempat bertemunya para petani yang menjual hasil kebunnya secara langsung kepada trader atau juga kepada tengkulak. Beberapa di antaranya adalah Pasar Suddu di Enrekang dan Pasar Ke’Pe, Sapan, dan Minanga di Toraja. Ketika kopi yang dijual itu berupa kopi asalan bukan spesial, tentu tuntutan untuk melengkapi identitas daerah tanam belum tercipta sedemikian rupa sehingga tidak masalah jika kopi yang dijual itu “buta identitas”. Tapi, ketika arus pasar mengarah pada persoalan traceability, akan berbeda halnya jika pemain kopi spesial mengambil kopi asalan dari pasar tersebut tanpa mendapatkan sama sekali identitas daerah penanaman.
Ketika peta laju industri specialty coffee pada masa sekarang menuntut asal-usul kopi yang terlacak atau traceability, maka informasi mengenai kopi yang didapatkan dari Sulawesi Selatan perlu sesegera mungkin dimulai dengan memetakannya, sebagai awalan, secara per kecamatan atau bahkan per desa. Para roaster atau trader yang menjual specialty coffee sudah saatnya memulai memasarkan kopi dengan dilengkapi identitas daerah penghasil tempat kopi itu ditanam. Sehingga ketidaktepatan mengidentifikasi kopi dari Kalosi atau Pasar Suddu sebagai kopi Toraja tidak terjadi terus menerus, dan konsumen kopi spesial pun menjadi tahu kopi yang diminumnya dari mana dan bahkan oleh siapa ditanam. Di sini, rantai nilai atau value chain perlu dipertimbangkan, apalagi jika kopi spesial dari Indonesia hendak menembus pasar Internasional.
Sumber :
https://philocoffeeproject.wordpress.com/2012/02/14/apakah-kopi-kalosi-itu-kopi-toraja/
No comments:
Post a Comment